PULANG DENGAN PENYESALAN YANG PANJANG

 

Di sore itu, hujan turun perlahan di luar jendela. Udara dingin merayap masuk ke dalam rumah tua yang sudah lama tak terasa hangat. Mas Johan, suamiku, yang berbaring di sofa ruang tamu, tiba-tiba membuka mata dengan lemah. Ia menoleh ke arah ibunya yang duduk di kursi sebelahnya, wajah tuanya tampak menahan kesedihan yang sudah tak terkatakan lagi.

“Bu, bisa buatkan jahe hangat?” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Ibunya terdiam sejenak, seolah tak percaya dengan permintaan itu. Sepanjang hidupnya, Mas Johan tak pernah sekalipun meminta jahe hangat. Namun, tanpa bertanya lebih jauh, ibunya beranjak perlahan ke dapur, menyiapkan minuman yang diminta.

Aku hanya bisa berdiri terpaku, rasa sesak menghantam dadaku. Ada sesuatu yang terasa ganjil dalam permintaan sederhana itu. Sesaat setelah menyesap jahe hangatnya, tubuh Mas Johan melemah, dan napasnya tersengal pelan. Dalam hitungan detik, suamiku tak lagi bernapas.

**

Kematian Mas Johan seperti sebuah babak penutup yang mendadak pada kehidupan kami yang penuh gejolak. Kami telah melalui banyak hal—cinta yang kukira sempurna, dan pengkhianatan yang tak pernah kubayangkan akan terjadi.

Kisah kami dimulai lebih dari satu dekade lalu, saat masih berseragam putih abu-abu. Kami berpacaran sejak SMA, melawan segala perbedaan, termasuk keyakinan. Cinta kami seperti cerita romansa klasik: tak peduli apa kata orang, yang penting adalah apa yang kami rasakan satu sama lain. Namun, realitas sering kali lebih kejam daripada dongeng.

Ketika Mas Johan memutuskan untuk pindah agama demi menikah denganku, kami melakukannya tanpa meminta restu dari ibunya. Aku tahu, di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang tak pernah terucap. Namun, cinta membuat kami merasa bahwa segalanya bisa dihadapi bersama.

Setelah menikah, hidup kami tampak baik-baik saja. Mas Johan bekerja keras, aku mendukungnya sepenuh hati. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Satu keputusan bisnis yang salah membuat Mas Johan terjerat utang besar. Klien yang ia percaya menipunya, meninggalkan kami dengan kerugian puluhan juta. Tak hanya itu, ancaman penjara pun membayangi.

Kami menghabiskan seluruh tabungan untuk menyelesaikan masalah itu. Ketika semuanya berakhir, yang tersisa hanyalah rasa malu dan hancur. Mas Johan merasa tak sanggup lagi menghadapi dunia luar. Dengan berat hati, kami memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya, membawa anak kami yang masih kecil.

Aku bisa merasakan kekecewaan yang disembunyikan di balik senyum ibunya. Di balik keheningan, ada luka yang belum sembuh. Di mata sang ibu, anaknya yang dulu, yang meninggalkan rumah untuk menikahi perempuan beda agama, kini kembali sebagai seorang pengangguran. Rasa malu itu membebani Mas Johan lebih dari yang pernah kusadari.

**

Hari demi hari berlalu dalam kesunyian. Aku bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga, sementara Mas Johan tetap di rumah, mencoba mencari pekerjaan baru. Aku tahu, di dalam dirinya, ada rasa frustasi yang semakin membesar. Hingga suatu hari, kabar baik datang—ia mendapat pekerjaan baru di luar kota.

Namun, dua tahun kemudian, kabar buruk itu datang. Seperti kilat di siang bolong, aku mendengar bahwa Mas Johan berselingkuh dan bahkan menikah siri dengan wanita lain. Kata orang, ia terkena lintrik—semacam ilmu hitam yang membuatnya terikat pada wanita itu.

Hancur? Tentu saja. Marah? Lebih dari sekadar itu. Hatiku terbakar dalam kekecewaan yang tak terkatakan. Aku merasa dikhianati oleh seseorang yang pernah berjanji untuk selalu ada di sisiku. Tapi tak berhenti di situ. Mas Johan pulang dalam kondisi yang memprihatinkan. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus kering, dan matanya… matanya terlihat kosong, seolah-olah seluruh jiwa telah pergi meninggalkannya.

Keluarga Mas Johan, termasuk saudara-saudaranya, menyarankanku untuk bercerai. Mereka bilang, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan dari pernikahan kami. Tapi uang dari mana? Untuk bercerai pun aku harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit, sementara kami sudah tak memiliki apa-apa lagi.

Satu bulan setelah kepulangannya yang mendadak, Mas Johan tiba-tiba meminta jahe hangat kepada ibunya. Permintaan itu tampak sederhana, namun bagi kami, itu adalah hal yang aneh. Dia tak pernah meminum jahe hangat sebelumnya.

Dan saat itu juga, setelah menyesap minuman terakhirnya, suamiku pergi untuk selamanya.

**

Kini, yang tertinggal hanyalah kenangan. Kadang, aku merenung, apa yang bisa kukatakan pada anakku ketika dia dewasa nanti? Apa yang bisa kujelaskan tentang pernikahan tanpa restu, tentang pengkhianatan, tentang lintrik, dan tentang ayahnya yang meninggalkan kami dalam cara yang begitu tiba-tiba?

Hidup kami memang penuh dengan penyesalan, namun ada satu hal yang tak pernah kusangkal: aku mencintai Mas Johan, meskipun pada akhirnya cinta itu berakhir dengan luka yang tak bisa sembuh sepenuhnya.

Permintaan terakhirnya, segelas jahe hangat, kini hanya menjadi simbol dari hidup yang pernah kukira penuh cinta, namun berakhir dengan kehilangan yang mendalam.

 

“Sebuah kisah nyata tentang cinta beda agama tanpa restu, pengkhianatan, dan kehilangan. Bagaimana cinta yang kuat harus menghadapi kenyataan pahit hingga akhirnya berakhir dengan penyesalan yang mendalam.”

Tinggalkan Balasan