Ketika sedang duduk di balik kubikel, seorang wanita tua dengan tubuh tambun dan make up tebal tampak berkali-kali mencari cara agar bisa berbicara dengan wanita muda yang duduk di depannya. Meski terhalang sekat, wanita tua itu terlihat gelisah, ingin cepat-cepat mendapatkan apa yang diinginkan. Sementara wanita muda tanpa make up yang sedang jadi incarannya, duduk terpaku pada layar di depannya dengan tangan yang tak henti-hentinya mengetik. Seolah tidak peduli dengan sekitarnya bahkan dengan seseorang yang berjarak hanya setengah meter darinya.
Hari ini adalah hari Jumat, tanggal 25. Waktunya gajian. Semua pegawai tampak beraktivitas dan bersikap biasa saja, selayaknya hari Senin. Tapi berbeda dengan wanita tua yang duduk di balik kubikel warna cokelat dengan hiasan vas bunga. Di ponselnya sudah banyak pesan masuk memberi salam dan mengingatkan tentang kewajiban yang harus segera dibayar. Sebagai seorang bankir senior, dia tahu apa yang harus dilakukan. Tinggal transfer saja, beres. Hanya saja, apa yang mau ditransfer jika saat gajian, gaji yang masuk hanya cukup untuk kudapan.
Kadang ada rasa sesal, kenapa dirinya memiliki sifat boros yang amat parah. Matanya langsung hijau ketika melihat isi toko. Saat memakai kartu kredit, entah mengapa dirinya tak bisa berhenti untuk berbelanja. Apa yang menarik perhatiannya, selalu ingin segera dibelinya. Bahkan jika hal itu bukan sesuatu yang penting-penting amat. Prinsip hidupnya, asal menarik ya beli.
Wanita tua itu kembali fokus pada note kecil dan kalkulator di mejanya. Suara bulpoinnya yang dibuka tutup buka tutup membuat tindakannya mengeluarkan suara berisik bagi orang sekitarnya. Termasuk seorang wanita muda yang ada di depannya.
“Bu Bar, uda selesei laporannya? Fokus amat ngitungnya. Uda beres akhir bulan ini ya? Wih emang beda ya pegawai yang expert dengan pegawai yang masih anyaran …” Cerocos wanita muda itu, lugu. Tidak sadar bahwa dirinya sudah dibidik menjadi sasaran mangsa empuk dari sepasang mata yang sejak tadi menunggunya untuk menerkam.
Wanita tua yang sejak tadi memang sebenarnya ingin mengajak bicara dengan wanita itu, terhenyak dan merasa mendapat angin segar karena bisa membuka obrolan.
“Belum Dek, masih banyak. Sampeyan, dari tadi fokus di komputer, uda selesai ta?”
“Oalah, sama dong Bu, kalau gitu. La dari tadi, Bu Bar berisik banget e, kirain uda beres mau setor ke pak bos.” Jawab wanita muda tanpa memperlihatkan wajahnya namun sesekali melirik wanita tua yang disapa Bu Bar itu.
“Dek, aku boleh minta tolong sesuatu ga?” Wanita tua itu mulai meluncurkan serangan pertama. Raut wajahnya terlihat datar, tapi terdengar getar dalam suaranya.
“Apa Bu?” Jawab wanita muda tanpa melihat dan tetap fokus di layar.
“Aku mau pinjam uang, boleh ga? kira-kira satu juta aja kok. Sampeyan kan suaminya bos, pasti gak ngaruh kalau cuma sejuta.”
Dengan senyum dan mata tetap terpantau serius pada layar, si wanita menjawab,” nanti ya, Bu. Masih repot ini.”
—————————————————————–
Pagi ini adalah hari yang cerah. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari gajian. Tentu saja Silvi bahagia sekali menyambutnya. Di dalam otaknya sudah terpampang banyak rencana. Sekian ribu untuk tabungan anak, sekian ribu untuk tabungan haji, sekian ribu untuk investasi reksadana, sekian ribu untuk beli susu dan sekian ribu untuk skincare kesayangan. Belum lagi kiriman dari suaminya yang juga baru saja ditransfer ke rekeningnya. Sudah bisa buat persiapan DP rumah dan melunasi tanah yang baru dibeli bulan lalu.
Ucapan syukur tak henti-henti dari mulutnya. Umurnya masih muda, tapi sudah bisa membeli beberapa aset di sekian tahun pernikahan dengan suaminya. Oya, minggu besok ada cuti bersama, dirinya juga mulai memikirkan mengajak si kecil untuk staycation sebentar. Wah serunya. Bibirnya tak henti-henti membentuk seulas senyuman.
Silvi pun dengan semangat membuka komputer di mejanya. Mengambil kalender yang ada di sisi meja, dan melingkari tanggal-tanggal penting akan segala rencana yang telah dia buat. Saking semangatnya, dia tak sadar, jika ada sepasang mata yang memperhatikan dari balik kubikel di depannya.
Silvi membuka laporan hari ini dan mulai mengerjakan tugasnya dengan serius. Dalam prinsip hidupnya, menyelesaikan tugas secepat mungkin membuat dia bisa beristirahat sebanyak mungkin. Minum kopi di kantin dengan melihat drama korea yang sedang on going.
Saat sedang fokus-fokusnya, tiba-tiba ada suara memanggil yang ditengarai berasal dari balik depan kubikelnya.
“Dek Sil, repot ya?”
Silvi hanya sempat melirik sedikit dan berkata, “apa Bu?”
Tak ada lagi jawaban, Silvi kembali fokus dengan pekerjaannya. Suara bolpoint cetak cetik terdengar lebih sering dari sebelumnya. Membuat dirinya tak tahan untuk berhenti sejenak dan melihat rekan kerjanya.
“Bu Bar uda selesai bikin laporannya?” Sambil menyondongkan kepala melihat seorang wanita tua yang disapa Bu Bar itu dengan ramah.
“Belum Dek, sampeyan udah ya? Dari tadi fokus banget, jadi sungkan aku.” Seperti terlihat kaget karena tiba-tiba ada yang melongok ke arahnya.
“Oalah, ya sudah, soalnya kok terdengar berisik dari balik meja, jadi kukira udah selesai mau setor ke pak bos.” Jawab Silvi dengan tampang datar kembali duduk di kursinya.
Saat kembali fokus dengan layar di depannya, terdengar suara Bu Bar memanggil.
“Dek Sil, Dek Sil, bisa minta tolong gak?”
Silvi yang mendengar dari balik mejanya, mulai merasa ada yang tidak beres. Bu Bariah sudah terkenal seantero kantor jika suka berhutang dan bayarnya lama. Beberapa kali ada telepon misterius yang masuk ke kantor mengaku sebagai penagih hutang mencari Bu Bariah karena susah dihubungi. Meski begitu, jika ada acara makan-makan di luar kantor, Bu Bar masih suka mentraktir dan selalu memilih ngebossy semua yang ikut. Sebagai tambahan informasi, semua karyawan kantor juga tahu dia sangat boros karena paket yang sering datang ke kantor adalah paketnya Bu Bar.
Sebagai yang muda, tak elok rasanya jika–meski benar seperti dugaannya–bersikap tidak sopan, maka Silvi hanya menjawab sekenanya. “Hmmm … Apa Bu? “
Sebuah kalimat permintaan baru saja diluncurkan dari mulut Bu Bar membuat Silvi membenarkan apa yang baru saja ada dalam pikirannya. Ingin rasanya langsung berteriak,” enak saja! Tau diri dong Bu!” Tapi sisi yang lain berbisik, “tetap tenang, cool …” Sementara sisi yang lain lagi cukup berkata, “nanti ya Bu” hanya untuk menghindar sesaat.
Karena, Bu Bar sepertinya masih menunggu jawaban dari Silvi, tiba-tiba, entah dari mana mulutnya mengeluarkan kalimat yang membuat Bu Bar tertohok.
Dengan pelan dan mantab, Silvi berujar seperti orang tua berumur jauh di atas Bu Bar.
“Bu, jenengan kan lebih senior dari saya, masa iya, jenengan malah mau hutang ke saya, kan gajinya lebih banyak jenengan. Harusnya, saya yang hutang ke jenengan, wong saya masih pegawai anyaran, belum senior seperti jenengan.”
Mendengar jawaban Silvi, wajah Bu Bar merah padam. Dirinya tak menyangka jika anak junior di depannya berani bilang kalem seperti itu seakan-akan orang tua yang sedang menasehatinya–padahal dialah yang paling tua di situ–sehingga membuat dirinya malah merasa dipermalukan.
Spontan, Bu Bar berteriak menjawab. “Eh Dek! sampeyan gak ngerti tanggunganku sebesar apa, kalau emang gak mau kasih ya bilang aja gak bisa, gak usah bilang seperti itu, nyindir itu namanya!” Wajahnya benar-benar memerah seakan tidak terima. Tapi, Silvi juga bingung, tak terima karena apa kok bisa-bisanya karena ditolak malah marah-marah.
Dengan tetap tenang duduk rapi di balik kubikelnya dan tidak terkonfrontasi sikap marah dari Bu Bar, Silvi menjawab, “ Ya sama Bu, saya juga punya banyak tanggungan, Bu Bar juga gak tau sebanyak apa tanggungan saya. Maaf ya Bu.”
Silvi melongok sedikit di balik cela kubikel di antara mereka dengan memasang wajah lugu meringis. Silvi pamit ke belakang.
Di dalam kamar mandi, Silvi menghembuskan nafas panjang dengan perasaan lega, dan berharap, Bu Bar mendapat pelajaran dari apa yang tadi dirinya ucapkan. Bahwa, jika dirinya sadar dan merasa senior serta ingin dihormati, selayaknya bersikap sesuai posisinya menjadi senior yaitu dengan menjaga dirinya. Agar tidak jadi contoh yang tidak baik bagi karyawan lainnya. Sehingga, karyawan lain tetap segan dengan hati yang tulus, tidak dengan wajah yang palsu.
“Menghormati bukan berarti mengiyakan apa yang salah. Menghormati adalah meluruskan apa yang benar.”