ANAK LAKI-LAKI YANG (TIDAK) DIINGINKAN

 

Membaca buku Things left Behind karya Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won dalam bab Cara Keluarga Itu Menjalani Hidup mengingatkanku pada sebuah keluarga yang hampir mirip dengan kisah dalam bab itu. 

 

Kesamaan dari tokohnya adalah mereka sama-sama memiliki keluarga yang–seakan-akan–menginginkan kematiannya sesegera mungkin.

 

Disclaimer : Ini bukan tentang pembunuhan. Ini adalah tentang tidak lagi menginginkan “seseorang itu” berada dekat dengannya namun tidak enak memberitahu secara langsung dan hanya menunggu waktunya tiba. Entah kapan. 

 

Dalam buku Things Left Behind, ada seorang nenek ditemukan meninggal tak bernyawa di kamarnya sendiri. Berdasarkan ahli forensik, nenek itu sudah meninggal tiga hari yang lalu. Meski cukup kaget karena ada anggota keluarga yang meninggal di dalam rumah, roman muka anggota keluarga yang seatap dengan nenek menunjukkan ketenangan yang bisa dibilang tak wajar. Meski begitu, apapun yang ditanyakan pihak berwajib mereka tetap melaporkan dengan jujur alibi masing-masing dan kronologi penemuannya. 

 

Dari kamarnya, terlihat hewan-hewan kecil seperti belatung sudah hampir memenuhi setiap sisi selimut sang nenek. Bau busuk yang berasal dari kamar, sudah mengisi seluruh ruangan. Membuat siapa saja yang memasuki rumah itu pasti ingin muntah dan mual karena bau bangkai. Anehnya, selama tiga hari waktu meninggalnya nenek, bau yang terbilang sama tidak menjadi sorotan satupun anggota keluarga yang berpikiran bahwa itu adalah bau mayat. 

 

Ketika melihat isi kamarnya, terlihat, banyak perhiasan, mantel dan tas mewah mengisi lemari dan meja riasnya. Beberapa lembar tagihan kartu kredit dan nota-nota belanja tertata rapi di salah satu laci meja. Dari barang-barang yang ditinggalkan, orang yang tidak  mengenal nenek bisa menyimpulkan bahwa hidup nenek sangat mewah. Tipe nenek-nenek sosialita.  

 

Hal ini terlihat kontras dengan penampilan isi rumah beserta anak dan cucunya. Mereka lebih terkesan sederhana bahkan tak terlihat rapi. Banyak pakaian terlipat seadanya berserakan di sofa ruang tamu, kulkas yang kosong dan dapur yang seperti tidak pernah dipakai untuk memasak. Sang cucu seperti anak muda lusuh yang tidak tahu kapan baju untuk tidur dan bekerja. Sementara, orang tuanya mempunyai bimbingan belajar yang penghasilannya cukup untuk sehari-hari saja. Rasa-rasanya tidak sesuai jika membiayai belanjaan nenek yang mahal-mahal. 

 

Dari perbedaan yang terlihat, cara orang-orang ini menjalani hidup mereka dalam satu atap adalah hidupmu adalah hidupmu, hidupku adalah hidupku. Uang yang didapatkan oleh nenek dari pensiun, digunakan untuk foya-foya sendiri. Sementara anak dan cucunya sibuk dengan kesibukannya untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. 

 

Mungkin sebenarnya ada rasa rindu yang tak bisa diungkapkan si nenek tentang sebuah kehangatan keluarga. Tapi karena tidak ada yang menganggapnya dan semua sibuk dengan kesibukan masing-masing, nenek akhirnya mencari perhatian lain dengan berbelanja berlebihan sesuka hati. Akan tetapi, dari kacamata cucunya, terlihat bahwa neneknya adalah orang yang egois dan tidak peduli dengan keluarganya. Sehingga, mereka berbuat seperti itu pada nenek. 

 

Ketika kamar dibersihkan dan jenazah telah disemayamkan. Tidak ada kenangan tersisa yang membuat banjir air mata. Segalanya berlangsung biasa saja, kembali seperti sedia kala. Sementara, si cucu dengan mudahnya berkata, meminta seluruh perhiasan neneknya diserahkan kepadanya.

 

Sama seperti kisah ini. 

 

Sore itu, seorang pria paruh baya tergeletak tak bernyawa di kursi meja makan. Tapi, dia lebih beruntung dari kisah nenek tadi. Kematiannya dikelilingi oleh keluarganya. Ibu, istri dan anaknya. Isak tangis juga mengiri kepergian pria itu sejak tubuhnya terbukti terbujur kaku. 

 

Namun, beberapa hari sebelumnya.

 

“Sudah ndak usah dihirau, Bu. Biarkan dia mati.”

 

“Gimana udah mati tah Ayah?”

 

“Sudah mati saja kamu, daripada makan hati ibu terus!”

 

Kalimat-kalimat tentang kematian tiada henti terucap dari mulut ibu, istri dan anaknya tentang sikap dan perilaku anak laki-laki, suami dan ayah mereka yang jauh dari sosok yang patut dibanggakan. 

 

“Kebutuhan sekolah anakmu, ini dan ini, habis segini. Gimana?” Tanya istrinya menunjukan brosur seakan-akan proposal yang harus segera disetujui. 

 

Pria itu hanya diam tak mencari solusi. 

 

“Le, tolong belikan isi toko yang sudah habis stoknya, agar pelanggan tidak lari. Ini uang dan ini daftar belanjaannya.” 

 

Pria itu tetap tak keluar kamar untuk menuruti perintah ibunya. 

 

Sehari-hari, yang dia kerjakan hanya duduk malas-malasan dengan rokok yang terus mengepul dan berdiam diri saja di kamar. 

 

Pria itu tak menyadari, bahwa sikapnya menjadi catatan bagi anak laki-lakinya. Sikapnya yang acuh dan tak peduli dengan lelah istri dan ibunya dicontoh oleh anaknya. 

 

Hingga lama-lama suasana di rumah itu, terasa dingin dan pengap. Seakan-akan ada kuman besar yang ingin segera dihilangkan tapi tidak bisa karena terlalu kuat mengakar. 

 

Hingga sore itu, tidak seperti biasanya yang selalu murung, dia keluar kamar dengan langkah gontai namun tersenyum cerah. Sesuatu yang amat mustahil dilakukan sejak beberapa bulan terakhir. Sejak dia menjadi pengangguran. Sementara anggota keluarga yang lain, tak menghirau apa yang beda dari pria itu. Segalanya masih berlangsung seperti biasa. Si ibu menjaga toko sambil sesekali menemani menantunya yang membuka catering kecil-kecilan. Dan sore itu ternyata ada pesanan. Jadi, mereka cukup sibuk di dapur. Sementara cucu laki-lakinya, sedang bermain game di ponselnya. Selonjoran seperti biasa, tidur dengan mengangkat kaki bersantai di depan tivi. 

 

“Le … “ Sapa pria itu pada anaknya. 

 

Acuh seperti kebiasaan ayahnya, anak itu terus saja fokus bermain game.

 

Sementara pria itu hanya diam dan duduk di sudut meja makan. Dirinya merasa melihat masa kecilnya dulu saat tak menggubris ketika orang tuanya memanggil. Dasar anak-anak. Pikirnya. 

 

Meski terasa lemas, dirinya tak kurang akal. Dia memanggil ibunya. 

 

“Bu … tolong buatkan aku teh hangat.” 

 

Ibunya yang sudah tua renta sedikit berjengit mendengar anak laki-lakinya tiba-tiba memanggilnya. Seakan-akan, sapaan dari anak kandungnya itu sudah lama tak terdengar. 

 

“Apa Le, tumben, kenapa kamu?”

 

Ibu itu mendekati anaknya dengan hati-hati karena takut jika hal yang membuatnya sakit hati, terulang lagi. 

 

Namun, laki-laki itu diam saja.   

 

Tidak berharap lebih, ibu itu kembali mundur ke belakang. Menuju dapur untuk membuatkan teh pesanan anaknya. 

 

“Kenapa Bu?!?” Menantunya yang sedang sibuk menata nasi, tiba-tiba berseru dengan muka ditekuk.  “Ada apa lagi dengan orang itu?” Nada ketidaksukaan terucap tajam dalam caranya membicarakan “orang” yang dimaksud.

 

Dengan wajah datar, Ibu hanya menjawab, “mau teh, biarin aja, berarti dia masih butuh ibunya.”

 

Selesai membuatkan teh yang disukai anaknya, teh tanpa gula. Ibunya kembali ke meja makan meletakkan segelas teh lengkap dengan tatakannya di dekat anaknya yang masih duduk selonjor. Anehnya, anak laki-laki itu terlihat semakin lemas. 

 

“Ini tehnya. Segera diminum.” 

 

Tidak ada jawaban dari laki-laki itu. 

 

“Kamu sakit? Mau dipijitin tah Le?”

 

Dengan hati-hati, sang ibu mendekatkan tangannya untuk menyentuh tangan yang terkulai di sisi kursi. Rasa dingin terasa menjalar saat kulit mereka bertemu. Merasa ada yang tidak beres. Menantunya dipanggil. 

 

“Nduk, Nduk, tolong dilihat mas mu ini, tangannya kok dingin?” 

 

Sang istri hanya mengerucutkan bibir dan tidak menggubris permintaan ibu mertuanya. Dia masih melanjutkan mengerjakan pesanan. 

 

“Nduk! Nduk!” Ibu mulai memanggil dengan berteriak. 

 

“Apa sih Bu?!? Biarin aja dia begitu, kan sudah sering juga seperti itu. Ibu kok masih saja percaya dikibulin.”

 

Saat mendatangi ibu dan suaminya, dalam matanya terlihat rasa jijik yang tidak bisa diungkapkan. Pria itu memang suaminya. Tapi, sekaligus orang yang tega menyakiti hatinya. Sudah tidak bekerja tapi masih bisa selingkuh. Rasa sakit hati yang teramat dalam menutupi perasaan yang dulu pernah tumbuh subur saat mereka masih remaja. Siapa mengira jika pria yang dulu tampan dan diharapkan bisa menjadi sandaran, sekarang menjadi orang tak berguna, sampah masyarakat dan gondrong.   

 

Namun nasi sudah menjadi bubur. Rasa jijik berubah menjadi linangan air mata yang tak bisa terungkapkan. Selang beberapa hari setelah kematian suaminya. Sang istri tampil mewah dengan perhiasan memenuhi tubuhnya. Uang takziyah yang terkumpul dibelikannya perhiasan. Katanya untuk investasi masa depan. 

 

 

 

Tinggalkan Balasan